T E R B A N G
Ketika siang masih menyemburkan hawa panasnya dan jutaan knalpot
penghuni setia jalan raya berseliweran dalam kemacetan yang akut, masih
saja bocah-bocah dekil itu menjajakan kemelaratan yang riuh mengalahkan
keriuhan tepukan tangan dalam seminar-seminar di hotel dan
kampus-kampus ternama.
Para pemuda dan
bapak-bapak meninggalkan kampung halaman berlomba-lomba memadati jalan
raya demi sesuap nasi dan harapan-harapan kecil nan sederhana. Mereka
telah beranak cucu, berhimpitan di pinggir-pinggir kali, kolong
jembatan, lorong sempit di pinggiran kota, menunggu tendangan trantib
dan aparat pembangunan.
Ibu-ibu dengan pakaian
lusuh wajah memelas ribut mengetuk-ngetuk kaca mobil, dengan bayi yang
tak kalah sedihnya wajah itu membiaskan rasa pilu menyayat. Lengkap
sudah dengan lemparan recahan dari kaca mobil.
Masih disiang itu,
dari bibir jalan dengan trotoar yang semakin hancur dengan ulah
pengendara sepeda motor yang diburu waktu, sangat kelihatan sebuah bak
sampah masih kokoh berdiri dengan sampahnya yang sudah sangat menumpuk
hingga dengan sewenang-wenang mengeluarkan bau busuk.
Walau busuknya menyengat, tetap saja seorang anak kecil seusia anak
sekolah dasar kelas 5, dengan tekun memungut gelas-gelas plastik dan
koran-koran bekas. Mata tajamnya layaknya elang menukik memburu mangsa.
Tangannya lihai bak professor dalam laboratorium penuh jejeran botol
berisi cairan kimia. Hanya saja si anak itu sama sekali tidak memakai
kain penutup hidung atau masker dan sama sekali kedua tangan
telanjangnya tidak memakai sarung tangan. Ia tidak pingsan, ulet
professional.
Anak seusianya telah dipaksa oleh
keadaan yang sering saja terus menjadi alasan klasik proyek-proyek
besar kepekaan sosial dan telah melahirkan banyak professor. Bila anak
itu menjadi korban kekerasan atau sodomi, maka pekerjaan LSM anak dan
polisi akan sibuk dan kemudian bertambahlah penghuni penjara, pengap
makin sesak. Namun semua terus mengalir lama kelamaan sudah bukan
gejala baru maupun opini dahysat untuk mengalihkan isu.
Kulirik jam tangan telah menujukkan hampir pukul 1 siang membara. Baru
saja kutengok kembali bocah kecil itu, “Haa…!” Teriakkku kaget setengah
mati, anak itu sudah melayang di atas bak sampah, orang-orang yang
melihat juga berteriak keheranan, ramai kenderaan tiba-tiba saja
semakin macet, para pengendara mobil menyembulkan kepalanya dari kaca
mobil, ada yang berlari meninggalkan mobilnya, penuh rasa ingin tahu,
motor-motor di parkir sembarangan mendekati bak sampah. Hanya dalam
hitungan detik berjubel manusia sudah memadati area kecil bak sampah
hingga ke meluber jalan raya, layaknya antrian sembako di musim
bencana. Saling dorong dan injak, sikut kiri kanan hingga ada yang
terjatuh merintih-rintih terinjak.
Aku yang
tanpa kusadari sudah berlari mendekat pun ikut berdesakan, menatap
wajah anak itu penuh keheranan. Wajah anak itu terlihat ketakutan
dengan kedua kelopak mata yang kelelahan menahan banjir air matanya.
Tubuhnya melayang-layang tiga meter di atas bak sampah. Seorang ibu
berjilbab biru dengan tas kulit mengkilat berlogo Versace nampak lebih
mendekat ke bak sampah sambil menutupi hidungnya berkata, “Mari nak,
coba turun ke sini, nanti ikut ibu ke rumah yaa…”
Belum sempat ibu itu melanjutkan kata-katanya, seorang bapak gemuk
berjas hitam dengan pin emas Garuda, menjulurkan tangannya ke atas,
jemari besarnya berlingkar logam murni menyala dengan mata merah
delima, bapak itu setengah melompat berujar, “ Ayo ikut bapak saja! Ayo
turun… turun nak…” Bujuk bapak itu.
Aku tidak
tahu entah siapa bapak dan ibu dari anak itu, yang pasti aku pun
bingung dan ingin sekali menolongnya, namun berjubel orang-orang sudah
berebutan membujuk anak itu agar turun dan ikut bersama mereka. Tanpa
mereka sadari sepatu-sepatu mengkilat mereka sudah masuk
menginjak-injak kotoran dan sampah.
Inilah
gejala baru langka dan luar biasa di Ibukota, seorang bocah pemulung
yang tiba-tiba saja bisa terbang walau belum terbang sejauh Superman
atau Gatot Kaca. Huft… ini akan menjadi berita besar pengalihan isu
yang paling edan. Dua kakiku berjinjit sambil menoleh ke arah kanan
jalan raya, puluhan meter jarak pandangku menatap lampu sirene mobil
patroli berkilauan, sayup-sayup bunyi sirene seperti irama melankolis.
“Woiii… Parjooo… Parjoo..” teriak dua orang anak kecil terhimpit
diantara tubuh orang-orang dewasa. Pakaian mereka yang kumal dan
berlubang sebenarnya lebih layak untuk dibuang atau paling cocok untuk
membersihkan knalpot dan benda-benda kotor lainnya. Bibir mungil mereka
terus memanggil-manggil, walau hilang ditelan gemuruh suara-suara yang
teramat berisik diterik siang itu.
Kuperhatikan
lagi bocah yang melayang itu perlahan sepasang kupingnya berubah
menjadi warna keemasan terang menyala berkilau mirip puncak monas. Anak
itu melepaskan karung plastik rombeng yang sedari tadi masih
dipegangnya, tangannya meraba-raba telinganya yang berubah kaku.
“Parjoo…” Hampir saja buyar keinginanku untuk mendekati kedua bocah
yang terus memanggil nama temannya itu. Dorongan tubuh orang-orang dari
belakang, kiri dan kanan, mau marah rasanya salah. Aku memaksa mundur
beberapa langkah dan dengan susah berbalik paksa diantara himpitan
orang-orang, tak kuladeni caci maki orang-orang yang terganggu, susah
payah kudekati dua anak kecil tadi dan langsung kutarik seorang anak,
dengan susah payah pula seorang temannya lagi bergerak mengikuti, ia
berteriak kesakitan saat kakinya terinjak namun terus menerobos
mengikuti temannya.
“Ada apa kak? Kenapa saya
ditarik-tarik..,” celoteh anak itu sembari dengan sedikit paksaan
kubimbing dia agar menjauh mencari ruang yang lapang.
“Ada yang ingin kakak tanyakan, nanti kakak kasih uang,” aku terus
merangsek keluar. Beberapa orang yang entah wartawan atau orang yang
sengaja membawa handycam dan kamera nampak kesal lalu memaki karena
dorongan tubuhku mengganggu bidikan zoom yang mengarah pada anak yang
masih terus melayang di atas bak sampah.
Aku
tidak peduli karena merekapun sudah seperti orang yang kesetanan, debu
dan panas yang sangat menyengat sudah tidak lagi dipedulikan mereka,
terus berhimpitan saling injak penuh peluh dan bau keringat. Di samping
warung rokok yang memakai pelataran trotoar, segera kukeluarkan dompet,
dua lembar uang sepuluh ribuan kutarik, “Ini buat kalian berdua,
ambil,” kuangsurkan sepuluh ribu masing-masing pada kedua anak itu.
“Kalian kenal siapa dia?” telunjukku mengarah pada objek yang masih terus menjadi tontonan.
“Itu teman kami kak,”
“Parjo?,”
“Ya Parjo kak, dia teman kami memulung…”
Aku menganggukkan kepala sembari menggigit bibirku yang kering. Betapa
masih banyaknya pemulung dari kalangan anak-anak seusia anak sekolah,
mereka terus berjuang mangais secuil kehidupan untuk bisa makan. Aku
keluarkan beberapa isi dompetku.
“Bang… bang,”
si abang penjaja di warung rokok dan minuman yang membelakangi nampak
serius terus menatapi bocah yang masih melayang-layang di atas bak
sampah.
“Wooii… bang, jualan gak?!” ujarku lebih keras,
si abang seakan tidak mendengar. Bocah itu seakan telah menyihir semua
orang.
“Beli bang,” Ku tepuk pundak si abang penjual.
“Oh iya… beli apa,”
“Minuman dingin 3 dan roti itu 5.”
***
Dari langit yang terang membiru tanpa gumpalan awan, semakin jelas
helikopter melayang layang. Kemacetan yang teramat panjang telah
membuat ramainya polisi dan tentara turun meminta orang-orang untuk
menyingkir dan membuka jalan. Entahlah, perjalanan kepentingan siapa
yang telah terjebak dalam kemacetan ini, yang pasti banyak para
pengendara dan penumpang turun berdesak-desakan. Terlihat banyak yang
masih berdiri di atas mobil-mobil pribadi mereka untuk dapat melihat
dengan jelas.
Kerumunan orang-orang yang
berdatangan sejak tadi, entah dari mana asalnya telah membuat satu
langkah saja demikian susah. Aku dan dua orang teman Parjo yang tidak
jauh dari lokasi, kini masih sulit untuk bergerak. Dor! Dor! Polisi
mengeluarkan dua tembakan ke udara, kerumunan manusia sudah layaknya
gelombang, ada yang terinjak-injak namun tiada yang peduli. Kuapit erat
dua teman Parjo yang telah basah kuyup keringat yang sama basahnya
denganku. Teriknya matahari semakin membuat lautan manusia ini seperti
neraka. Parjo yang masih terus melayang hanya bisa menangis sambil
memegang kupingnya.
Untuk membeli kembali
minuman dingin terasa sulit. Kerumunan orang-orang terasa sulit
dibubarkan polisi, orang-orang hanya bisa bergerak layaknya gelombang
yang terkunci. Dor! Dor! Tembakan ke udara masih terus berdesing,
kulihat banyak yang jatuh pingsan karena sesak kehabisan udara.
“Bagaimana ini kak..” ucap seorang anak yang masih kuapit erat. Aku
hanya bisa menatapnya dengan bingung. Rasanya ini seperti dalam mimpi
buruk. Ah! Percuma saja menyesali, tinggal menunggu kerja polisi dan
semoga saja orang-orang ini mau bubar sehingga ruang gerak kembali
leluasa.
Parjo anak kampung jauh, merantau
bersama kedua temannya. Tidur di stasiun kereta atau di emperan toko
dan terminal. Ibunya TKW di Malaysia bapaknya hilang tak tentu
rimbanya. Sedih dan bingung kulihat Parjo terus menangis tak bisa turun.
Terlihat orang-orang yang berdiri di atas bak sampah sudah mulai turun
setelah ada teriakan “Bubar dan menyingkir,” dari megaphone helikopter
yang terbang rendah berputar-putar. Rambut Parjo terlihat lebih
berkibar dan orang-orang mulai dapat bergerak menjauhi lokasi.
Puluhan meter jarak pandangku diantara kemacetan jalan raya, mobil
pemadam kebakaran mengeluarkan semburan airnya. Orang-orang terlihat
mulai bisa berlarian. Bunyi klakson yang sedari tadi riuh
bersahut-sahutan.
Lebih dari dua jam tak terasa
kaki gemetaran melangkah. Rasa lelah yang teramat sangat memilihku
untuk melangkah pulang. Setelah berpamitan pada kedua teman Parjo yang
menerima dengan anggukan kepala, mereka duduk selonjor kelelahan
beralaskan karung. Sepertinya kedua anak itu mau pingsan, namun apa
daya tubuh terasa sangat letih dan mataku mulai berkunang-kunang.
Tak kupedulikan lagi orang-orang yang terkapar pingsan, banyak sudah
tidak peduli di Ibukota ini. Biarlah tim medis yang akan datang
menjemput mereka. Seorang ibu dengan tubuh gemuk dan masih terkapar di
jalan seraya berteriak minta tolong tak juga kupedulikan, kubuang
pandanganku kedepan menuju kontrakan. Rasa kantuk yang menyerang
melengkapi rasa lelah tubuh ini. Kemeja dan celana panjang jinsku masih
basah keringat.
Perjalanan menuju ke tempat
saudara yang sudah setengah perjalanan ku urungkan. Tak kulirik lagi
Parjo yang masih melayang-layang terbang di atas bak sampah itu, yang
terpenting adalah secepatnya sampai di rumah, tidur melepas lelah tubuh
ini. Ramai kendaraan masih masih macet memenuhi jalan raya, padahal
tidak jauh dari jalan besar ini sudah masuk jalan tol.
Perlahan langkahku menuju halte, bus, metromini, angkot, ah aku sampai
lupa naik apa untuk pulang. Sekonyong-konyong mata kantukku terbelalak,
kulihat mobil-mobil pribadi, bus dan angkot mulai terangkat terbang.
mdb
Artikel
Seni Kain Karawang, Kekayaan dari Leluhur
Sejarah peradaban manusia dari masa ke masa dapat dikenali dan dinilai dengan ciri khas dari keragaman budaya dan seni yang telah mengakar, kemudian secara turun temurun dilestarikan hingga masih bertahan. Seiring perkembangan zaman, bermacam kebutuhan maupun kepentingan manusia terasa semakin mudah dengan adanya inovasi dan perubahan teknologi yang terus mengalami kemajuan. Namun disatu sisi kemajuan teknologi informasi atau yang lebih dikenal juga dengan sebutan era digital telah menjadikan suatu daerah bahkan Negara yang didalamnya hidup masyarakat yang semestinya dapat mempertahankan eksistensi ciri khas seperti dalam berpakaian misalnya, kini perlahan pudar hingga mulai kehilangan jati diri.
Sebagai contoh masyarakat eropa seperti Inggris, kini sudah sangat jarang bahkan mungkin sudah tidak ada lagi wanita yang berpakaian Waspen Taille yakni model pakaian pinggang ramping dan rok mengembang mirip tubuh lebah madu, seperti yang sering kita lihat dalam film-film klasik. Para wanita dengan pakaian tersebut mungkin hanya akan dapat kita temui pada perayaan-perayaan tertentu, sebab waspen taille model sekarang sudah semakin modern dan tentu saja makin beraneka rupa bahan dan coraknya juga aksesorisnya yang kini bukan sekedar payung.
Kimono pakaian khas Jepang yang mirip Hanbok pakaian tradisional Korea, juga tidak lagi menjadi pakaian utama yang sering dipakai sehari-hari. Oshin pun tidak pernah protes pada gadis-gadis Jepang yang sudah sangat jarang memakai Kimono, inilah tren ala globalisasi yang para anak-anak mudanya akan dengan fasih menjawab : “Masing-masing ada zamannya, emang gue pikirin!”
Demikian pula dengan Gorontalo, Provinsi yang baru berusia 10 tahun, pada acara-acara resmi atau pesta pernikahan, coba kita lihat para gadisnya entah malu atau tidak suka, mereka tidak memakai pakaian karawang, sangat jarang kita menemukan gadis Gorontalo dengan bangga mengenakan pakaian karawang. Terlihat yang ada adalah pakaian modern ala barat bagaikan bintang Holywood atau pakaian umum gadis-gadis metropolitan hedonis dan ironis.
Kain karawang sebagai warisan dari para leluhur yang kaya akan budaya dan seni, layaknya menjadi kebanggaan tersendiri. Kita patut berbahagia, bahwa ternyata para leluhur Gorontalo memiliki cita rasa seni yang tinggi, mereka tidak hanya meninggalkan warisan seni dan budaya berupa etika adab, alat musik, tarian dan lain sebagainya, para leluhur meninggalkan keahlian pada generasi pelanjut dan karya yang penulis telah membuktikan pada seorang kawan asli Jakarta, penulis perlihatkan kain karawang, lantas dikatakannya : “Kain ini indah sekali, tapi rumit dan kayaknya sulit dirancang.”
Bila di Jawa terkenal dengan kain Batik, di Sumatra ada kain Ulos dan daerah lain punya kain tenun ataupun kain khas tersendiri, maka di Gorontalo ada Kain Karawang bung!
M.Danial Bangu
http://kainkarawang.blogspot.com
~ Sajak-sajakku ~
Sajak Dini Hari
Seperti ringkik keledai
engkau datang dengan bau petai
aroma bisu lengkap ambisi
... hendak kau telan semua nasi
lalu kau jilati tudung saji
terkurung kau jauh terkurung
bukan dalam lipatan sarung
yang mengajak ingat berkabung
meredakan nafsu untuk bertarung
tapi dasar kau memanglah badung
besar kepala perut pun buncit
rombongan tikus ramai cericit
menerjang jutaan perut melilit
siapa saja silahkan sakit
hanya akan menjerit-jerit
di tengah sawah ular menari
meliuk-liuk serumpun padi
burung terbang kian kemari
hati yang baik penuh pekerti
jauh angkuh dan lupa diri
api padam tertawa riang
biar meradang semut rang-rang
uban disemir belang-belang
burung kutilang bernyanyi sumbang
sisir pun hasil hutang
mdb
Zaman Santri
Tenggelam diri tenggelam
Menjadi ikan, jauh menyelam
Dunia gelap tubuh tak legam
Melahap kitab nafsu diredam
Kasih sayang tak pernah padam
Bertambah ilmu bertambah malu
Luas samudra seujung kuku
Apalah daya dalam dirimu
Bila sholat tanpa ilmu
Lalu makan yang bukan hartamu
Alangkah nikmat menjadi santri
Merenda hari bersama pelangi
Cahaya menembus menyapa hati
Semangat subuh menopang pagi
Mandi dzikir sepanjang hari
mdb