Rabu, Desember 21, 2011

"Harta" Itu Bernama Kerapu


Indonesia boleh berbangga. Kekayaan biota laut perairan kita ibarat ”surga” yang kerap membuat iri negara lain. Adalah kerapu (Epinephelinae) salah satu komoditas unggulan yang sukses diternakkan di Tanah Air dan banyak diburu negara lain.

Seorang pengusaha ikan kawakan pernah menuturkan, perairan Indonesia terpengaruh oleh dua musim subur bagi perkembangbiakan ikan-ikan laut. Hanya saja potensi itu belum diperhatikan, termasuk oleh negara.
Saat ini pasar ikan kerapu tidak terdengar gaungnya di dalam negeri sebab sebagian besar produknya ”dilarikan” ke luar negeri. Harga ikan dengan ciri tutul-tutul atau belang-belang di tubuhnya ini mencapai Rp 500.000 per kilogram.

Sebagai ilustrasi, harga ekspor kerapu bebek saat ini 50 dollar AS (sekitar Rp 465.000) per kg, kerapu macan 11 dollar AS per kg, dan kerapu lumpur 10 dollar AS per kg. Ukuran kerapu yang diekspor minimal 500 gram per ekor.

Bangun Sitepu, pembudidaya kerapu di Lampung Barat, menuturkan, ekspor kerapu ke Asia terus naik seiring tingginya minat penduduk Asia Timur mengonsumsi kerapu. Apalagi tidak banyak negara di Asia mampu membudidayakan kerapu di wilayah perairannya.

Beberapa jenis kerapu yang sukses dibudidayakan di Tanah Air meliputi kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) yang harga jualnya tinggi. Selain budidaya, produksi kerapu juga diperoleh dari penangkaran hasil tangkapan alam, di antaranya kerapu sunu (Plectropomus spp) dan kerapu lumpur (Epinephelus suillus).

Sitepu menuturkan, banyak pembudidaya kerapu asal Thailand, Malaysia, Hongkong, dan China membeli benih kerapu bebek dari Indonesia untuk dikembangbiakkan. Namun, upaya pemijahan itu kerap gagal.

”Sudah 10 tahun terakhir pembudidaya kerapu luar negeri membeli benih kerapu bebek untuk dibudidayakan, tetapi hasilnya sulit karena kerapu bebek dan macan ternyata lebih cocok berkembang biak di perairan Indonesia,” ujar Sitepu, yang juga Ketua Forum Komunikasi Kerapu Lampung.

Produksi kerapu di Tanah Air tersebar di sejumlah daerah. Kerapu bebek, misalnya, tersebar di Lampung, Bali, Lombok, Sumbawa, Bangka Belitung, dan Ambon. Adapun kerapu sunu yang mengandalkan hasil tangkapan alam di Sumatera.

Tingginya permintaan ekspor membuat konsumen luar negeri rela ke sentra-sentra produksi kerapu di sejumlah perairan Indonesia guna memburu ikan bernilai mahal itu.

”Berapa pun hasilnya, pasti diserap pasar. Ini membuat nilai tawar kerapu cenderung tinggi,” ujar Sitepu.

Budidaya kerapu mendorong pertumbuhan usaha pembenihan. Benih kerapu saat ini dijual rata-rata Rp 12.000-Rp 14.000 per ekor benih ukuran 6-7 cm. Namun, pasokan benih terkadang terbatas.

Di Belitung, misalnya, kebutuhan benih kerapu mencapai 10.000-15.000 ekor. Namun, terkadang para pembenih tidak mampu memasok semuanya.

Dedi Yusrifan, pembenih kerapu di Belitung, menuturkan, kegagalan pembenihan kerap dipicu oleh mutu telur yang kurang baik dan cuaca yang tidak mendukung.

Belum didukung
Kendati prospek usahanya tinggi, belum banyak orang berani terjun ke usaha ikan kerapu. Total areal budidaya kerapu secara nasional saat ini baru 84.500 hektar, hanya 2,51 persen dari potensi budidaya laut seluas 3,36 juta hektar.

Kendala budidaya itu dipicu oleh usaha kerapu yang padat modal dengan masa produksi relatif lama. Budidaya kerapu macan, misalnya, membutuhkan waktu 1 tahun 7 bulan untuk ukuran siap ekspor. Kerapu bebek mencapai 10 bulan, sedangkan penangkaran kerapu hasil tangkapan membutuhkan 10 bulan hingga 1 tahun.

Modal operasional budidaya kerapu juga tinggi. Dibutuhkan dua jenis pakan, yakni pakan berupa ikan kecil seharga Rp 2.500-3.000 per kg serta pelet Rp 55.000 per kg. Setiap KJA kerapu berisi 250 ikan membutuhkan rata-rata 3-6 kg pakan ikan setiap hari, di luar kebutuhan pelet.

Usaha kerapu yang sebagian besar dikembangkan di daerah terpencil juga terganjal pasokan listrik, transportasi, maupun minimnya pendampingan dari pemerintah. Zonasi kawasan budidaya yang belum diatur membuat lokasi budidaya kerap tumpang tindih dengan alur pelayaran ataupun terkontaminasi limbah.

Sementara itu, pembiayaan untuk sektor perikanan masih dihindari oleh perbankan. Akibatnya, kredit usaha perikanan terbelakang dengan realisasi di bawah 1 persen per tahun.

Tahun 2009 telah ada kesepakatan Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Bank Indonesia untuk meningkatkan pendampingan usaha kecil dan menengah agar memperoleh akses pembiayaan perbankan serta informasi pola pembiayaan komoditas unggulan perikanan. Namun, upaya itu belum membuahkan hasil.

Andai dikelola dengan tepat, potensi kerapu akan membangkitkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Imbal balik berupa pendapatan dan devisa sudah tentu juga dinikmati negara.

oleh: BM Lukita Grahadyarini
sumber: KOMPAS

Pengobatan dengan Hidangan Makan


Oleh Indah Wulandari

Penyakit terdiri atas empat jenis, yakni panas, dingin, kering, dan basah. Setiap penyakit ditangani dengan makanan dan obat yang memiliki kualitas yang berlawanan.

Hidup sehat melalui pemilihan makanan dan pengaturan pola makan ternyata sudah menjadi bagian gaya hidup bangsa Turki Usmani sejak abad ke-15 dan ke-16 Masehi. Berbagai manuskrip membuktikan ada enam gaya hidup yang mereka lakoni untuk mencapai kesehatan prima dan upaya pencegahan terhadap paparan berbagai penyakit.

Para dokter dan ilmuwan Muslim pada era keemasan Turki Usmani telah berupaya mencari dan menemukan beragam bentuk pengobatan. Uniknya, dokter-dokter Muslim pada zaman kejayaan peradaban Islam mampu menjadikan makanan sebagai obat.

Menurut Prof Nil Sari dalam tulisannya bertajuk "Food as Medicine in Islamic Civilization" yang dirilis laman muslimheritage, dokter Muslim seperti Ibnu Sina (980-1037 M) dan Ibnu al-Baytar telah berhasil menjadikan makanan sebagai obat. Avicena-begitu masyarakat Barat biasa menyebutnya-pada abad ke-11 M sudah menulis manuskrip tentang diet dan makanan sebagai obat.

Sang dokter memasukkan resep makanan yang berkhasiat sebagai obat itu dalam ilmu kedokteran. "Dalam salah satu risalahnya, Ibnu Sina menetapkan enam aturan hidup sehat, salah satunya menyatakan bahwa makanan berfungsi obat melalui diet seimbang," ungkap Kepala Departemen Sejarah dan Etika Pengobatan dari Universitas Istanbul, Turki, Prof Nil Sari.

Rahasia pengobatan dengan makanan ini tak hanya terletak dari fungsinya sebagai pemenuh kebutuhan nutrisi tubuh, tapi juga terletak pada kandungan gizi dalam makanan tertentu yang bisa menjadi sumber kekebalan tubuh. Selain itu, pengaturan pola makan serta diet agar menghindari makanan yang  mengandung zat mubazir bagi tubuh sangat diperhatikan.

Bukti nyata keampuhan pengaturan makanan bagi tubuh membuat para dokter Muslim pada era keemasan pun akhirnya menerapkan diet kepada para pasiennya. Ilmuwan dan dokter Muslim al-Razi juga menekankan pentingnya penyembuhan penyakit melalui pola makan.

"Jika kamu dapat menyembuhkan seseorang dengan diet (mengatur pola makan) maka jangan menyarankan pengobatan," ujar Prof Nil Sari, mengutip pernyataan al-Razi.

Mereka percaya keseimbangan konsumsi sayuran, buah-buahan, dan mineral dari pemakaian garam bisa menghasilkan unsur kimiawi khusus dalam tubuh. Meskipun saat itu para ilmuwan Muslim belum menemukan unsur kandungan karbohidrat, protein, serta vitamin dalam makanan, mereka bisa mengombinasikan secara sempurna bahan makanan tadi.  

Menurut Prof Nil Sari, prinsip kesehatan dan nutrisi seimbang dalam pengobatan Turki Usmani didasarkan pada teori "unsur" dan "humours". Dia  mengungkapkan, tubuh manusia memiliki empat unsur atau sifat, yakni panas, dingin, basah, dan kering. Selain itu, dalam tubuh manusia juga terdapat empat zat cair atau humours, yakni darah, dahak atau lendir, cairan empedu kuning, dan cairan empedu hitam.

Berdasarkan teori unsur dan humor yang ada dalam tubuh manusia, makanan diklasifikasikan dalam empat jenis. Makanan dan minuman tadi dapat memengaruhi keseimbangan humor. "Makanan dan minuman secara alami membangkitkan darah. Karena penyakit juga terdiri atas panas, dingin, kering dan basah, penyakit bisa dirawat dengan makanan atau pengobatan," terang Nil Sari.

Makanan dan minuman yang berpengaruh dalam keseimbangan humor juga diklasifikasikan berdasarkan teori elemen, seperti panas, dingin, kering, serta basah. Menurut Prof Nil Sari, makanan dingin bisa membentuk dahak, contohnya mentimun, labu, serta selada. Makanan dingin menyebabkan kelemahan.

Sedangkan, makanan panas, lanjut dia, secara alami membentuk cairan empedu kuning. Makanan panas adalah makanan yang mengandung rempah-rempah dan bumbu, seperti jahe, lada, ketumbar kering, kayu manis, bawang, serta bawang putih.

"Sedangkan, makanan kering akan membentuk empedu hitam, itu karena sifatnya melankolis," papar Nil Sari. Makanan jenis ini, kata dia, bisa mengatasi seseorang yang kehilangan nafsu makan dan sembelit. Makanan yang termasuk jenis itu, antara lain, padi, kacang-kacangan, dan daging kering.

Jenis lainnya adalah makanan basah yang memiliki ciri tak terlalu berasa asin, manis, asam, atau pahit. Makanan ini dapat mengurangi efek. Mi dan bayam yang dimasak dengan nasi dan daging merupakan contoh makanan basah.

Menurut Prof Nil Sari, makanan juga diklasifikasikan berdasarkan pencernaan, yakni makanan lembut dan makanan kasar. Makanan lembut bisa membantu mengusir residu dalam makanan. Mengonsumsi makanan lembut juga berfungsi untuk memanaskan darah serta memproduksi cairan empedu kuning.

Makanan seperti itu lebih banyak terkandung dalam sayuran (terutama lobak dan sawi), kaldu daging, kuning telur, hati, daging domba, kacang dan sup buncis, burung merpati muda, burung pipit, acar, bawang, bawang putih, acar lobak dengan cuka, serta acar gula bit dengan sawi.

Sebaliknya, makanan bersifat kasar seperti roti gandum murni, buah yang masak di pohon, serta buah ara matang bisa memberikan kekuatan penuh. Prof Nil juga memaparkan sayuran dan buah-buahan sebagai makanan yang menyembuhkan. Contohnya buah ara, anggur yang masak penuh, dan biji-bijian.

Menurut Prof Nil Sari, penyakit pun terdiri atas empat jenis, yakni panas, dingin, kering, dan basah. "Setiap penyakit ditangani dengan makanan dan obat yang memiliki kualitas yang berlawanan," paparnya. n ed: asep nur zaman


Dua Jenis Hidangan yang Populer

Pada abad ke-17 Masehi, seorang penulis asal Turki Evliya Celebi mengungkapkan, ada beberapa jenis makanan yang biasa diberikan kepada pasien di Rumah Sakit Fatih Sultan Mehmet Han Mental dan di Rumah Sakit Bayezid di Edirne.

Daging burung
Makanan itu adalah daging burung dan ikan yang disajikan sebagai obat. "Makanan lezat dari daging burung disediakan kepada pasien setiap dua kali sehari," papar Prof Nil Sari mengutip pernyataan Evliya Celebi. Beragam jenis daging burung berkhasiat obat yang biasa dihidangkan untuk para pasien itu, antara lain, ayam hutan, burung bulbul, burung pipit, dan burung dara.

Daging burung itu dimasak dan dihidangkan untuk penderita cacat dan merawat orang sakit saraf. Menurut Prof Nil Sari, daging atau lemak bisa diterapkan untuk obat luka luar dan dalam. Selain itu, daging burung juga bisa digunakan untuk merawat penyakit otot dan sistem kegelisahan serta meningkatkan kejantanan. Masing-masing spesies burung memiliki efek yang berbeda-beda.

Contohnya, daging bebek bisa mengobati suara serak, menghilangkan gas dalam perut, meningkatkan kejantanan, serta menggemukkan dan memperkuat badan. Rasa sakit bisa diredam dengan lemak dari daging unggas atau burung tadi. Fungsi lainnya, lemak bebek membersihkan dan mempercantik kulit.

Cara memasak burung atau unggas untuk kebutuhan pengobatan biasanya dicampur dengan rempah-rempah dan tumbuhan obat. Kaldunya dapat dibuat dari ayam muda, ayam betina, atau ayam jantan. Nutrisi keduanya membentuk unsur kimiawi obat, terutama bagi bagian otak, testikel, dan kotoran dalam badan yang sedang bereaksi.

Dari praktik pengobatan ini diketahui jika ayam jantan muda yang belum bisa berkokok paling baik untuk dijadikan obat. Sedangkan, ayam betina paling baik saat belum menghasilkan telur.

Konsumsi Ikan
Tak hanya itu, jenis ikan-ikanan juga berfungsi serupa dengan unggas. Beberapa jenis ikan yang bisa dimanfaatkan sebagai obat, seperti goby, turbot, belut, gurame, bass laut, tombak, mullet merah, ikan laut plaice, ikan biru, ikan air tawar, picarel, mullet abu-abu, dan bonito. Jenis ikan lainnya, seperti ikan makarel, ikan selayar, dan juga ikan lumba-lumba bisa digunakan sebagai obat.

Jenis ikan yang paling baik untuk pengobatan adalah mullet merah, goby, dan ikan kalajengking. "Ini semua tertuang dalam buku medis dalam era peradaban Islam. Yakni, tentang ikan merupakan makanan yang paling baik di mana mereka menangkap, bagaimana memasaknya, dan ikan apa yang harus dimakan atau tidak," jelas Nil Sari.

Nil Sari menemukan jika ikan memiliki sifat dingin secara alami. Maka, karakteristiknya memiliki sifat tenang dengan humor panas. Sehingga, ikan-ikanan bermanfaat dalam kasus penyakit alami panas. "Contoh, ikan baik untuk batuk kering, penyakit kuning, kelelahan, dan disentri. Telur ikan juga bisa memperbaiki tingkat kejantanan dan baik untuk batuk dan disentri," ujarnya.  indah wulandari, ed: asep nur zaman
(-)

 http://rol.republika.co.id/koran/36/150160/Pengobatan_dengan_Hidangan_Makan    

Izinkan Kami Menjual Lemari




Peluh kami adalah cahaya
Walau kalian tak pernah mau tahu siapa kami
Punggung dan kaki kami akan bersaksi
Sesuap nasi dan sedikit cita
Kami tak ingin menadahkan tangan
Tambo ketulusan aliri darah berdenyut ke nadi

Terserah apa itu inflasi
Yang kami mau belilah lemari
Untuk buku atau apa saja
Bisa untuk hadiah mertua

Baiknya jangan banyak bertanya
Sebab lemari ini sederhana saja
Jalanan panjang kan terasa lapang
Bila terjual hati pun senang


2009, M.Danial Bangu






Semangat Cinta

Pada semilir angin pagi
Berputar masa pengap dan sesak
Saat kuncup pun telah tinggi…
Bermekaran di atas sana
Naluri semangat leluasa membahana
Tertata rapi kami bawa hasil bumi
Jerih payah petani perkasa

Sadar kerja adalah mulia
Bangkit fikir percaya nasib
Keliling kami sejauh apapun bisa
Walau untung tak seberapa
Intelek buntung dijepit KPK
Sepenuh cinta kuatkan rasa
Betapa nikmat bebas merdeka


Maret 2010, M.Danial Bangu

Cerpenku


T E R B A N G



Ketika siang masih menyemburkan hawa panasnya dan jutaan knalpot penghuni setia jalan raya berseliweran dalam kemacetan yang akut, masih saja bocah-bocah dekil itu menjajakan kemelaratan yang riuh mengalahkan keriuhan tepukan tangan dalam seminar-seminar di hotel dan kampus-kampus ternama.

          Para pemuda dan bapak-bapak meninggalkan kampung halaman berlomba-lomba memadati jalan raya demi sesuap nasi dan harapan-harapan kecil nan sederhana. Mereka telah beranak cucu, berhimpitan di pinggir-pinggir kali, kolong jembatan, lorong sempit di pinggiran kota, menunggu tendangan trantib dan aparat pembangunan.

          Ibu-ibu dengan pakaian lusuh wajah memelas ribut mengetuk-ngetuk kaca mobil, dengan bayi yang tak kalah sedihnya wajah itu membiaskan rasa pilu menyayat. Lengkap sudah dengan lemparan recahan dari kaca mobil.
Masih disiang itu, dari bibir jalan dengan trotoar yang semakin hancur dengan ulah pengendara sepeda motor yang diburu waktu, sangat kelihatan sebuah bak sampah masih kokoh berdiri dengan sampahnya yang sudah sangat menumpuk hingga dengan sewenang-wenang mengeluarkan bau busuk.

          Walau busuknya menyengat, tetap saja seorang anak kecil seusia anak sekolah dasar kelas 5, dengan tekun memungut gelas-gelas plastik dan koran-koran bekas. Mata tajamnya layaknya elang menukik memburu mangsa. Tangannya lihai bak professor dalam laboratorium penuh jejeran botol berisi cairan kimia. Hanya saja si anak itu sama sekali tidak memakai kain penutup hidung atau masker dan sama sekali kedua tangan telanjangnya tidak memakai sarung tangan. Ia tidak pingsan, ulet professional.

          Anak seusianya telah dipaksa oleh keadaan yang sering saja terus menjadi alasan klasik proyek-proyek besar kepekaan sosial dan telah melahirkan banyak professor. Bila anak itu menjadi korban kekerasan atau sodomi, maka pekerjaan LSM anak dan polisi akan sibuk dan kemudian bertambahlah penghuni penjara, pengap makin sesak. Namun semua terus mengalir lama kelamaan sudah bukan gejala baru maupun opini dahysat untuk mengalihkan isu.

          Kulirik jam tangan telah menujukkan hampir pukul 1 siang membara. Baru saja kutengok kembali bocah kecil itu, “Haa…!” Teriakkku kaget setengah mati, anak itu sudah melayang di atas bak sampah, orang-orang yang melihat juga berteriak keheranan, ramai kenderaan tiba-tiba saja semakin macet, para pengendara mobil menyembulkan kepalanya dari kaca mobil, ada yang berlari meninggalkan mobilnya, penuh rasa ingin tahu, motor-motor di parkir sembarangan mendekati bak sampah. Hanya dalam hitungan detik berjubel manusia sudah memadati area kecil bak sampah hingga ke meluber jalan raya, layaknya antrian sembako di musim bencana. Saling dorong dan injak, sikut kiri kanan hingga ada yang terjatuh merintih-rintih terinjak.

          Aku yang tanpa kusadari sudah berlari mendekat pun ikut berdesakan, menatap wajah anak itu penuh keheranan. Wajah anak itu terlihat ketakutan dengan kedua kelopak mata yang kelelahan menahan banjir air matanya. Tubuhnya melayang-layang tiga meter di atas bak sampah. Seorang ibu berjilbab biru dengan tas kulit mengkilat berlogo Versace nampak lebih mendekat ke bak sampah sambil menutupi hidungnya berkata, “Mari nak, coba turun ke sini, nanti ikut ibu ke rumah yaa…”

          Belum sempat ibu itu melanjutkan kata-katanya, seorang bapak gemuk berjas hitam dengan pin emas Garuda, menjulurkan tangannya ke atas, jemari besarnya berlingkar logam murni menyala dengan mata merah delima, bapak itu setengah melompat berujar, “ Ayo ikut bapak saja! Ayo turun… turun nak…” Bujuk bapak itu.

          Aku tidak tahu entah siapa bapak dan ibu dari anak itu, yang pasti aku pun bingung dan ingin sekali menolongnya, namun berjubel orang-orang sudah berebutan membujuk anak itu agar turun dan ikut bersama mereka. Tanpa mereka sadari sepatu-sepatu mengkilat mereka sudah masuk menginjak-injak kotoran dan sampah.

          Inilah gejala baru langka dan luar biasa di Ibukota, seorang bocah pemulung yang tiba-tiba saja bisa terbang walau belum terbang sejauh Superman atau Gatot Kaca. Huft… ini akan menjadi berita besar pengalihan isu yang paling edan. Dua kakiku berjinjit sambil menoleh ke arah kanan jalan raya, puluhan meter jarak pandangku menatap lampu sirene mobil patroli berkilauan, sayup-sayup bunyi sirene seperti irama melankolis.

          “Woiii… Parjooo… Parjoo..” teriak dua orang anak kecil terhimpit diantara tubuh orang-orang dewasa. Pakaian mereka yang kumal dan berlubang sebenarnya lebih layak untuk dibuang atau paling cocok untuk membersihkan knalpot dan benda-benda kotor lainnya. Bibir mungil mereka terus memanggil-manggil, walau hilang ditelan gemuruh suara-suara yang teramat berisik diterik siang itu.

          Kuperhatikan lagi bocah yang melayang itu perlahan sepasang kupingnya berubah menjadi warna keemasan terang menyala berkilau mirip puncak monas. Anak itu melepaskan karung plastik rombeng yang sedari tadi masih dipegangnya, tangannya meraba-raba telinganya yang berubah kaku.

          “Parjoo…” Hampir saja buyar keinginanku untuk mendekati kedua bocah yang terus memanggil nama temannya itu. Dorongan tubuh orang-orang dari belakang, kiri dan kanan, mau marah rasanya salah. Aku memaksa mundur beberapa langkah dan dengan susah berbalik paksa diantara himpitan orang-orang, tak kuladeni caci maki orang-orang yang terganggu, susah payah kudekati dua anak kecil tadi dan langsung kutarik seorang anak, dengan susah payah pula seorang temannya lagi bergerak mengikuti, ia berteriak kesakitan saat kakinya terinjak namun terus menerobos mengikuti temannya.

          “Ada apa kak? Kenapa saya ditarik-tarik..,” celoteh anak itu sembari dengan sedikit paksaan kubimbing dia agar menjauh mencari ruang yang lapang.
          “Ada yang ingin kakak tanyakan, nanti kakak kasih uang,” aku terus merangsek keluar. Beberapa orang yang entah wartawan atau orang yang sengaja membawa handycam dan kamera nampak kesal lalu memaki karena dorongan tubuhku mengganggu bidikan zoom yang mengarah pada anak yang masih terus melayang di atas bak sampah.

          Aku tidak peduli karena merekapun sudah seperti orang yang kesetanan, debu dan panas yang sangat menyengat sudah tidak lagi dipedulikan mereka, terus berhimpitan saling injak penuh peluh dan bau keringat. Di samping warung rokok yang memakai pelataran trotoar, segera kukeluarkan dompet, dua lembar uang sepuluh ribuan kutarik, “Ini buat kalian berdua, ambil,” kuangsurkan sepuluh ribu masing-masing pada kedua anak itu.

          “Kalian kenal siapa dia?” telunjukku mengarah pada objek yang masih terus menjadi tontonan.
          “Itu teman kami kak,”
          “Parjo?,”
          “Ya Parjo kak, dia teman kami memulung…”
          Aku menganggukkan kepala sembari menggigit bibirku yang kering. Betapa masih banyaknya pemulung dari kalangan anak-anak seusia anak sekolah, mereka terus berjuang mangais secuil kehidupan untuk bisa makan. Aku keluarkan beberapa isi dompetku.

          “Bang… bang,” si abang penjaja di warung rokok dan minuman yang membelakangi nampak serius terus menatapi bocah yang masih melayang-layang di atas bak sampah.
          “Wooii… bang, jualan gak?!” ujarku lebih keras, si abang seakan tidak mendengar. Bocah itu seakan telah menyihir semua orang.
          “Beli bang,” Ku tepuk pundak si abang penjual.
          “Oh iya… beli apa,”
          “Minuman dingin 3 dan roti itu 5.”

                                                ***

          Dari langit yang terang membiru tanpa gumpalan awan, semakin jelas helikopter melayang layang. Kemacetan yang teramat panjang telah membuat ramainya polisi dan tentara turun meminta orang-orang untuk menyingkir dan membuka jalan. Entahlah, perjalanan kepentingan siapa yang telah terjebak dalam kemacetan ini, yang pasti banyak para pengendara dan penumpang turun berdesak-desakan. Terlihat banyak yang masih berdiri di atas mobil-mobil pribadi mereka untuk dapat melihat dengan jelas.

          Kerumunan orang-orang yang berdatangan sejak tadi, entah dari mana asalnya telah membuat satu langkah saja demikian susah. Aku dan dua orang teman Parjo yang tidak jauh dari lokasi, kini masih sulit untuk bergerak. Dor! Dor! Polisi mengeluarkan dua tembakan ke udara, kerumunan manusia sudah layaknya gelombang, ada yang terinjak-injak namun tiada yang peduli. Kuapit erat dua teman Parjo yang telah basah kuyup keringat yang sama basahnya denganku. Teriknya matahari semakin membuat lautan manusia ini seperti neraka. Parjo yang masih terus melayang hanya bisa menangis sambil memegang kupingnya.

          Untuk membeli kembali minuman dingin terasa sulit. Kerumunan orang-orang terasa sulit dibubarkan polisi, orang-orang hanya bisa bergerak layaknya gelombang yang terkunci. Dor! Dor! Tembakan ke udara masih terus berdesing, kulihat banyak yang jatuh pingsan karena sesak kehabisan udara.

          “Bagaimana ini kak..” ucap seorang anak yang masih kuapit erat. Aku hanya bisa menatapnya dengan bingung. Rasanya ini seperti dalam mimpi buruk. Ah! Percuma saja menyesali, tinggal menunggu kerja polisi dan semoga saja orang-orang ini mau bubar sehingga ruang gerak kembali leluasa.

          Parjo anak kampung jauh, merantau bersama kedua temannya. Tidur di stasiun kereta atau di emperan toko dan terminal. Ibunya TKW di Malaysia bapaknya hilang tak tentu rimbanya. Sedih dan bingung kulihat Parjo terus menangis tak bisa turun.

          Terlihat orang-orang yang berdiri di atas bak sampah sudah mulai turun setelah ada teriakan “Bubar dan menyingkir,” dari megaphone helikopter yang terbang rendah berputar-putar. Rambut Parjo terlihat lebih berkibar dan orang-orang mulai dapat bergerak menjauhi lokasi.

          Puluhan meter jarak pandangku diantara kemacetan jalan raya, mobil pemadam kebakaran mengeluarkan semburan airnya. Orang-orang terlihat mulai bisa berlarian. Bunyi klakson yang sedari tadi riuh bersahut-sahutan.

          Lebih dari dua jam tak terasa kaki gemetaran melangkah. Rasa lelah yang teramat sangat memilihku untuk melangkah pulang. Setelah berpamitan pada kedua teman Parjo yang menerima dengan anggukan kepala, mereka duduk selonjor kelelahan beralaskan karung. Sepertinya kedua anak itu mau pingsan, namun apa daya tubuh terasa sangat letih dan mataku mulai berkunang-kunang.

          Tak kupedulikan lagi orang-orang yang terkapar pingsan, banyak sudah tidak peduli di Ibukota ini. Biarlah tim medis yang akan datang menjemput mereka. Seorang ibu dengan tubuh gemuk dan masih terkapar di jalan seraya berteriak minta tolong tak juga kupedulikan, kubuang pandanganku kedepan menuju kontrakan. Rasa kantuk yang menyerang melengkapi rasa lelah tubuh ini. Kemeja dan celana panjang jinsku masih basah keringat.

          Perjalanan menuju ke tempat saudara yang sudah setengah perjalanan ku urungkan. Tak kulirik lagi Parjo yang masih melayang-layang terbang di atas bak sampah itu, yang terpenting adalah secepatnya sampai di rumah, tidur melepas lelah tubuh ini. Ramai kendaraan masih masih macet memenuhi jalan raya, padahal tidak jauh dari jalan besar ini sudah masuk jalan tol.

           Perlahan langkahku menuju halte, bus, metromini, angkot, ah aku sampai lupa naik apa untuk pulang. Sekonyong-konyong mata kantukku terbelalak, kulihat mobil-mobil pribadi,  bus dan angkot mulai terangkat terbang.

mdb




Artikel




Seni Kain Karawang, Kekayaan dari Leluhur

Sejarah peradaban manusia dari masa ke masa dapat dikenali dan dinilai dengan ciri khas dari keragaman budaya dan seni yang telah mengakar, kemudian secara turun temurun dilestarikan hingga masih bertahan. Seiring perkembangan zaman, bermacam kebutuhan maupun kepentingan manusia terasa semakin mudah dengan adanya inovasi dan perubahan teknologi yang terus mengalami kemajuan. Namun disatu sisi kemajuan teknologi informasi atau yang lebih dikenal juga dengan sebutan era digital telah menjadikan suatu daerah bahkan Negara yang didalamnya hidup masyarakat yang semestinya dapat mempertahankan eksistensi ciri khas seperti dalam berpakaian misalnya, kini perlahan pudar hingga mulai kehilangan jati diri.

Sebagai contoh masyarakat eropa seperti Inggris, kini sudah sangat jarang bahkan mungkin sudah tidak ada lagi wanita yang berpakaian Waspen Taille yakni model pakaian pinggang ramping dan rok mengembang mirip tubuh lebah madu, seperti yang sering kita lihat dalam film-film klasik. Para wanita dengan pakaian tersebut mungkin hanya akan dapat kita temui pada perayaan-perayaan tertentu, sebab waspen taille model sekarang sudah semakin modern dan tentu saja makin beraneka rupa bahan dan coraknya juga aksesorisnya yang kini bukan sekedar payung.

Kimono pakaian khas Jepang yang mirip Hanbok pakaian tradisional Korea, juga tidak lagi menjadi pakaian utama yang sering dipakai sehari-hari. Oshin pun tidak pernah protes pada gadis-gadis Jepang yang sudah sangat jarang memakai Kimono, inilah tren ala globalisasi yang para anak-anak mudanya akan dengan fasih menjawab : “Masing-masing ada zamannya, emang gue pikirin!”

Demikian pula dengan Gorontalo, Provinsi yang baru berusia 10 tahun, pada acara-acara resmi atau pesta pernikahan, coba kita lihat para gadisnya entah malu atau tidak suka, mereka tidak memakai pakaian karawang, sangat jarang kita menemukan gadis Gorontalo dengan bangga mengenakan pakaian karawang. Terlihat yang ada adalah pakaian modern ala barat bagaikan bintang Holywood atau pakaian umum gadis-gadis metropolitan hedonis dan ironis.

Kain karawang sebagai warisan dari para leluhur yang kaya akan budaya dan seni, layaknya menjadi kebanggaan tersendiri. Kita patut berbahagia, bahwa ternyata para leluhur Gorontalo memiliki cita rasa seni yang tinggi, mereka tidak hanya meninggalkan warisan seni dan budaya berupa etika adab, alat musik, tarian dan lain sebagainya, para leluhur meninggalkan keahlian pada generasi pelanjut dan karya yang penulis telah membuktikan pada seorang kawan asli Jakarta, penulis perlihatkan kain karawang, lantas dikatakannya : “Kain ini indah sekali, tapi rumit dan kayaknya sulit dirancang.”

Bila di Jawa terkenal dengan kain Batik, di Sumatra ada kain Ulos dan daerah lain punya kain tenun ataupun kain khas tersendiri, maka di Gorontalo ada Kain Karawang bung!

M.Danial Bangu

http://kainkarawang.blogspot.com


~ Sajak-sajakku ~

Sajak Dini Hari

Seperti ringkik keledai
engkau datang dengan bau petai
aroma bisu lengkap ambisi
... hendak kau telan semua nasi
lalu kau jilati tudung saji

terkurung kau jauh terkurung
bukan dalam lipatan sarung
yang mengajak ingat berkabung
meredakan nafsu untuk bertarung
tapi dasar kau memanglah badung

besar kepala perut pun buncit
rombongan tikus ramai cericit
menerjang jutaan perut melilit
siapa saja silahkan sakit
hanya akan menjerit-jerit

di tengah sawah ular menari
meliuk-liuk serumpun padi
burung terbang kian kemari
hati yang baik penuh pekerti
jauh angkuh dan lupa diri

api padam tertawa riang
biar meradang semut rang-rang
uban disemir belang-belang
burung kutilang bernyanyi sumbang
sisir pun hasil hutang

mdb

Zaman Santri

Tenggelam diri tenggelam
Menjadi ikan, jauh menyelam
Dunia gelap tubuh tak legam
Melahap kitab nafsu diredam
Kasih sayang tak pernah padam

Bertambah ilmu bertambah malu
Luas samudra seujung kuku
Apalah daya dalam dirimu
Bila sholat tanpa ilmu
Lalu makan yang bukan hartamu

Alangkah nikmat menjadi santri
Merenda hari bersama pelangi
Cahaya menembus menyapa hati
Semangat subuh menopang pagi
Mandi dzikir sepanjang hari


mdb